“Ketika saya melihat perempuan-perempuan desa saya merasa kasihan. Saya kemudian mengajari mereka cara menganyam sampai bisa. Setelah itu saya juga yang membeli hasil anyaman mereka sesuai dengan kemampuan modal yang saya miliki,” ujarnya pada Tim We Love With Love yang berkunjung untuk memberi support. Awalnya ia hanya mampu mengumpulkan 20 orang.
Ni Nyoman tak kenal lelah memperjuangkan nasib perempuan desa. Ia pergi ke desa-desa lain. “Saya temui kepala dusun di sana dan mengajak mengumpulkan perempuan-perempuan untuk menjadi pengrajin. Saya lalu meminta bantuan ke dinas untuk mendanai perempuan ini berlatih menganyam. Saya sendiri yang menjadi instruktur pelatihan sekaligus membeli hasilnya.” Berkat kegigihannya, Ni Nyoman mendapat kepercayaan dari koperasi untuk memberi pinjaman modal Rp 10 juta.
Pelunasan pinjaman modal tersebut berjalan lanjar.
Pesanan terus datang—sampai 15 kali dalam sebulan para pengepul mengambil hasil kerajinan Kelompok Mekar Nadi. Namun pandemik cukup memukul penjualan anyaman bambu di Bali. Pesanan berkurang hingga 30 persen, harga produk juga ikut terimbas. “Satu sokasih yang tadinya saya beli Rp 20 ribu dari penjual dan dijual dengan harga Rp 35 ribu sekarang hanya laku Rp 25 ribu,” ujarnya. Meski demikian Ni Nyoman bertahan tetap membeli hasil pengrajin sekalipun dengan harga murah.
Pada tim We Love With Love Ni Nyoman bercerita tentang bantuan uang tunai bagi UMKM yang tidak didapat sebagaian besar pengrajinnya. “Hanya dua dari 114 orang yang mendapat bantuan tersebut, saya juga tidak tahu kriteria pemilihannya,” ujar ibu dua anak ini. Ia berharap selama pandemik ada pihak yang tergerak membantu mewujudkan keinginannya meningkatkan kreasi anyaman agar lebih berdaya jual. “Saya terpikir membuat tempat tisu atau sendok namun masih terkendala modal dan cara memasarkannya.”
Anda yang tergerak untuk membantu bisa menyalurkan dana atau ide Anda lewat www.welovewithlove.com.