Kujang, Warisan Budaya Bogor

Seperti Jawa mengenal keris dan Aceh mengenal rencong, Bogor memiliki kujang.

Kearifan lokal warisan Kerajaan Sunda ini harus terus dilestarikan dan diceritakan pada generasi muda.

Kujang mulai dibuat pada abad 8 atau 9 bahkan ada yang mengestimasikan sejak zaman Sunda kuno rentang 125M-1125M. Ketika Pajajaran runtuh pada abad ke-16, para pengrajin Kujang juga berhenti membuat senjata ini. Namun Kujang tetap dilestarikan sebagai senjata khas Bogor, bahkan diabadikan sebagai monumen Tugu Kujang. Menurut catatan sejarah yang tertuang dalam Pantun Bogor terdapat 6 jenis Kujang. Mereka adalah:

  1. Kujang Ciung ujungnya menyerupai kepala ciung atau burung Beo. Merupakan simbol trah raja dan trah pandita dengan jumlah mata 3, 5, 7 dan 9. Karena ciung adalah unggas yang cerdas yang mampu menirukan suara-suara. Seperti halnya pandita, raja, dan bupati harus pandai bicara dan cerdas.
  2. Kujang Kuntul—unggas putih. Ujung kujang berbentuk paruh dan kepala burung kuntul. Hanya memiliki 4 mata. Para patih dan mantra disimbolkan dengan burung kuntul karena burung kuntul jelajahnya jauh dan pandai mencari mangsa alias pekerja keras.
  3. Kujang Jago karena bentuk ujungnya seperti kepala ayam jago. Kujang ini merupakan simbol dan pegangan panglima perang dan komandan pasukan yang lihai berkelahi dan berperang.
  4. Kujang Naga karena ujungnya berbentuk seperti naga. Kujang naga merupakan pegangan orang kepercayaan raja dan para kepala desa.
  5. Kujang Badak diambil dari Badak Jawa bercula satu dijadikan simbol tamtama atau prajurit.
  6. Kujang Bangkong simbol guru dalam bahasa Sunda artinya seseorang yang ahli. Bangkong tidak pernah mencari makan seperti seorang yang ahli tidak perlu mencari makan, makanan akan datang sendiri melalui orang-orang yang membutuhkan jasa atau ingin berguru.

Selain enam kujang tadi, masih ada lagi Kujang Wayang yang belum ditemukan artinya dari catatan sejarah, tapi banyak ditemukan pada museum dan kolektor. Para ahli meyakini Kujang Wayang berasal dari Cirebon karena dulu Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam melalui media wayang. Meski bukan khas Sunda, tapi melalui musyawarah dan diskusi dan seminar yang digelar pemerintah Jawa Barat tahun 2013, Kujang Wayang masuk dalam jenis kujang.

Kujang yang awalnya tidak berpamor karena dibuat dari bahan sederhana, yaitu besi kini sudah dibuat dengan pamor alias ukiran. Selama 9 tahun berkecimpung membuat kujang, Guru Teupa Wahyu Afandi Suradinata menciptakan 9 macam pamor kujang, dari berbentuk awan hingga tanaman. Di era modern ini ternyata kujang masih memiliki daya tarik tersendiri. Walaupun kini berkurang drastis, permintaan pembuatan pin aksesori kujang masih ada. Pesanan khusus dari pribadi yang ingin dibuatkan kujang sebagai ageman alias pegangan juga terus mengalir. Selayaknyalah kujang terus dilestarikan sebagai kearifan lokal Kota Hujan.