Menjaga Orisinalitas Desa Adat Tenganan Pegringsingan

Bali sungguh kental dengan budayanya. Inilah yang menjadi daya tarik Pulau Dewata bagi banyak pelancong Mancanegara. Namun di era wifi ini menjaga agar masyarakat tetap menjalankan budaya dan adat istiadat bukanlah perkara mudah.

Desa Tenganan merupakan satu dari tiga desa Bali Aga, yaitu desa tradisional di Bali yang masih teguh mempertahankan adat istiadat, baik dari pola hidup maupun tatanan masyarakatnya. Bentuk dan besar bangunan beserta pekarangan, pengaturan letak bangunan hingga letak Pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.

02-Menjaga Desa Adat Tenganan Pegringsingan

Dua tugu yang terdapat pada desa menjadi bukti bahwa desa yang diapit dua bukit ini sudah eksis pada awal abad ke-11 masehi. Pada masa itu, Desa Tenganan menjadi tempat suci yang menjadi tujuan orang dari desa lain bersembahyang. Secara fisik memang di dalam desa adat ini terdapat pura atau tempat suci yang dianggap para ahli sebagai peninggalan zaman Megalitikum. Keunikan desa ini ada pada sistem tata pemerintahan yang diatur sendiri oleh pejabat desa. Kepemimpinan di Tenganan tidak dipilih masyarakat, tapi ditentukan berdasarkan jenjang umur perkawinan. Warga yang menikah lebih dulu memiliki kesempatan lebih awal untuk menjadi kepala adat.

Menurut I Putu Wiadnyana, Ketua pengelola pariwisata Desa Tenganan Pegringsingan, warga yang menikah dengan sesama orang Tenganan wajib menjadi anggota kram deso, lembaga inti dalam pemerintahan desa yang pada jenjang tertentu berfungsi sebagai kepala adat. “Selain tata masyarakat, dalam sistem tata parahyangan pun kami memiliki beberapa pura yang memiliki struktur dan bentuk yang khas dan unik. Pura Yasanti contohnya memiliki tahta batu untuk pemujaan. Kami juga tidak mengenal kasta,” jelas Wiadnyana.

Warga Tenganan rutin melakukan berbagai upacara adat. Salah satunya upacara peningkatan status dari anak ke dewasa. Jika ada laki-laki yang menikah sebelum melewati upacara kedewasaan ia akan dikeluarkan dari keanggotaan warga asli Tenganan. “Kami memberlakukan berbagai sanksi sesuai pelanggaran. Contohnya penebangan kayu di sini sangat ketat harus lebih dulu meminta ijin. Jika terbukti warga menebang kayu tanpa ijin akan didenda dan diberhentikan dari krama deso karena dianggap mencuri,” jelas Wiadnyana.

Desa yang terletak di Kecamatan Manggis, Karangasem ini memberlakukan sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan lokasi tempat tinggal. Masyarakat asli tinggal di Barat atau Bedauh, sedangkan warga yang dikeluarkan dan para pendatang menetap di area Bedangin atau Timur. Warga antar kelompok boleh berinteraksi, namun pendatang dan warga yang sudah dikeluarkan tidak boleh membeli dan memiliki lahan di Tenganan.

Sejak tahun 1900an pelancong berdatangan ke desa karena tertarik dengan adat-istiadatnya. “Kami masih berpikir pariwisata adalah buah dari kondisi asli desa ini. Karenanya kami tidak memoles diri untuk menjadi tempat wisata—apa adanya saja. Yang muncul adalah rasa tanggung jawab untuk menjaga kebersihan lingkungan serta keinginan menata jalan-jalan desa termasuk menyiapkan ruang penerimaan tamu agar pengunjung merasa nyaman dan aman,” ujar Wiadnyana.

“Pemerintah lalu memberi bantuan dengan mendirikan kios-kios untuk berjualan suvenir dan kain Pegringsingan yang hanya dibuat di desa ini. Sebelum pandemi, banyak warga desa berjualan lontar dan kain di sepanjang desa, namun sekarang tidak lagi. Penghasilan dari pariwisata besar perannya. Walaupun tidak menerapkan tiket, dana dari sistem donasi saja cukup banyak dipakai untuk membiayai kegiatan desa. Jelas ada dampak pandemi, beberapa kegiatan harus disederhanakan disesuaikan dengan kondisi prihatin sekarang ini,” lanjutnya.

Kerinduan untuk terus mengembangkan pariwisata yang selaras dengan adat istiadat Tenganan tetap menyala. “Harapan kami pariwisata segera pulih. Kami ingin punya kanal resmi online untuk memberikan informasi tentang desa ini lengkap dengan kalender upacara. Selain itu juga kami ingin membangun fasilitas fisik berupa rumah yang dibangun menggunakan bahan, teknik, dan perabotan asli Tenganan. Lahannya sudah disiapkan namun butuh dana Rp 200-Rp 300 juta untuk mewujudkannya,” tutup Wiadnyana.