Sejak Maret, pesanan tas tidak lagi berdatangan, bahkan berhenti sama sekali. Pesanan hotel dan vila yang sudah disiapkan Made Aser saja tidak jadi diambil. Namun Made Aser tidak membiarkan para pengrajinnya kehilangan pemasukan. “Sebelum pandemik, saya membayar Rp 50 ribu per lembar, sekarang saya hanya mampu membayar Rp 15 ribu. Setidaknya uang tersebut bisa mereka gunakan untuk membeli beras. Saya terus mengambil anyaman meskipun dalam kondisi seperti ini,” ujar Made.
Bulan ini untuk pertama kalinya dalam enam bulan, akhirnya Made menerima pesanan 100 tas. Tas-tas ini dipesan oleh pelanggannya untuk dijual lagi ke luar negeri. Pak Made sendiri sebenarnya rindu bisa mendapat masukan desain tas yang terkini untuk menambah daya jual produknya. Ia pun berkeinginan memiliki mesin jahit muktahir yang bisa dipakai untuk menjahit tas dengan lebih cepat. Namun harga mesin yang mencapai Rp 27 juta membuat Made harus menunda dulu keinginannya tersebut.
Pada tim We Kove With Love Made Aser bercerita bahwa saat ini ia berusaha menutupi sepinya penjualan tas dengan menjual anyamannya sebagai pembungkus mayat. Membungkus mayat dengan tikar sudah menjadi kebiasaan penduduk Banjar Tumbu. Namun hingga saat ini strateginya belum berhasil.
“Kalau ada pihak lain yang ingin membantu, saya ingin membesarkan bisnis anyaman supaya bisa mensejahterakan satu desa ini. Saya butuh bantuan untuk mempromosikan produk anyaman agar masyarakat bisa mengenal produk yang dibuat menggunakan bahan-bahan natural.” Ayo, bagi Anda yang tergerak, kirimkan bantuan ide, barang, atau dana yang Anda miliki lewat Yayasan We Love With Love.